SELAMAT DATANG

Anda masuk pada blog Sinau bareng Hariri. Semoga bermanfaat untuk kita semua.

Aqidah

MANHAJ BERAQIDAH:
Telaah Metode Berfikir Ahlussunnah

Muqaddimah
Aqidah  adalah adalah masalah yang sangat urgen bagi identitas seorang muslim.  Karena sangat urgenya masalah ini, Jauh-jauh hari para ulama` telah merumuskan sebuah manhaj (baca: metode) beraqidah yang dapat membentengi aqidah ummat islam. Pembumian manhaj beraqidah ini telah mereka lukiskan dalam tinta-tinta turats yang dapat di akses generasi sekarang. Nah, di zaman perpecahan ini tentu sangat perlu membuka kembali lembaran-lembaran turats tersebut sebagai upaya pemurnian aqidah.
Dasar-Dasar Akidah
Pokok-pokok keyakinan yang berkaitan dengan tauhid dan lain-lain menurut Ahlussunnah Wal-Jama'ah harus dilandasi oleh dalil dan argumentasi yang definitif (qath'i) dari al-Qur'an, hadits, ijma' ulama dan argumentasi akal yang sehat. Para ulama yang menulis karangan-karangan dalam membantah aliran-aliran ahli bid'ah dan kelompok-kelompok yang menyimpang selalu didasarkan pada dalil-dalil tersebut secara hirarkis. Dalam konteks ini al-Imam al-Ghazali mengatakan:
Ahli nazhar (nalar) dalam ilmu akidah ini pertama kali berpegangan dengan ayat-ayat al-Qur'an, kemudian dengan hadits-hadits Rasul sawdan terakhir dengan dalil-dalil rasional dan argumentasi-argumentasi analogis. (al-Risalah al-Ladunniyyah (Majmu' Rasail al-Imam al-Ghazali), hlm. 244, edisi Ibrahim Amin Muhammad)
Berikut ini rincian dalil-dalil tersebut secara hirarkis:
1. Al-Qur'an
Al-Qur'an al-Karim adalah pokok dari semua argumentasi dan dalil. Al-Qur'an adalah dalil yang membuktikan kebenaran risalah Nabi Muhammad s dan dalil yang membuktikan benar dan tidaknya suatu ajaran. Al-Qur'an juga merupakan kitab Allah terakhir yang menegaskan pesan-pesan kitab-kitab samawi sebelumnya. Allah memerintahkan dalam al-Qur'an agar kaum Muslimin senantiasa mengembalikan persoalan yang diperselisihkan kepada Allah dan Rasul-Nya:
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya). (QS. al-Nisa' : 59).
Mengembalikan persoalan kepada Allah, berarti mengembalikannya kepada al-Qur'an. Sedangkan mengembalikan persoalan kepada Rasul saw, berarti mengembalikannya kepada sunnah Rasul saw yang shahih.
2. Hadits
Hadits adalah dasar kedua dalam penetapan akidah-akidah dalam Islam. Tetapi tidak semua hadits dapat dijadikan dasar dalam menetapkan akidah. Hadits yang dapat dijadikan dasar dalam menetapkan akidah adalah hadits yang perawinya disepakati dapat dipercaya oleh para ulama. Sedangkan hadits yang perawinya masih diperselisihkan oleh para ulama, tidak dapat dijadikan dasar dalam menetapkan akidah sebagaimana kesepakatan para ulama ahli hadits dan fuqaha yang menyucikan Allah dari menyerupai makhluk. Menurut mereka, dalam menetapkan akidah tidak cukup didasarkan pada hadits yang diriwayatkan melalui jalur yang dha'if, meskipun diperkuat dengan perawi yang lain. Dalam konteks ini al-Hafizh Ibn Hajar mengatakan dalam Fath al-Bari:
Kata "suara" yang terdapat dalam redaksi hadits, tidak dapat dinisbahkan kepada Tuhan, dan butuh untuk dita'wil. Jadi dalam masalah akidah ini tidak cukup didasarkan pada hadits yang datang dari jalur yang diperselisihkan, meskipun diperkuat oleh jalur yang lain. (Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, juz 1, hlm. 174)
Maksud pernyataan al-Hafizh Ibn Hajar tersebut adalah, kata suara yang terdapat dalam sebagian riwayat hadits, tidak dapat dinisbatkan kepada Tuhan, dalam artian kalam Allah itu berupa suara dan huruf, karena hal ini menyangkut persoalan akidah yang tidak cukup didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang masih diperdebatkan oleh para ulama, meskipun telah diperkuat oleh jalur yang lain.
Al-Hafizh al-Khathib al-Baghdadi mengatakan dalam kitabnya al-Faqih wa al-Mutafaqqih:
Sifat Allah tidak dapat ditetapkan berdasarkan pendapat seorang sahabat atau tabi'in. Sifat Allah hanya dapat ditetapkan berdasarkan hadits-hadits Nabi saw yang marfu', yang perawinya disepakati dapat dipercaya. Jadi hadits dha'if dan hadits yang perawinya diperselesihkan tidak dapat dijadikan hujjah dalam masalah ini, sehingga apabila ada sanad yang diperselisihkan, lalu ada hadits lain yang menguatkannya, maka hadits tersebut tidak dapat dijadikan hujjah. ( al-Tibyan fi al-Radd 'ala Man Dzamma 'Ilm al-Kalam, hlm. 47.)
Al-Hafizh al-Baihaqi juga mengutip dalam kitabnya al-Asma' wa al-Shifat dari al-Hafizh Abu Sulaiman al-Khaththabi, bahwa sifat Allah itu tidak dapat ditetapkan kecuali berdasarkan nash al-Qur'an atau hadits yang dipastikan keshahihannya.
Hadits yang dapat dijadikan dasar dalam menetapkan akidah adalah hadits mutawatir, yaitu hadits yang mencapai peringkat tertinggi dalam keshahihan. Hadits mutawatir ialah hadits yang disampaikan oleh sekelompok orang yang banyak dan berdasarkan penyaksian mereka serta sampai kepada penerima hadits tersebut, baik penerima kedua maupun ketiga, melalui jalur kelompok yang banyak pula. Hadits yang semacam ini tidak memberikan peluang terjadinya kebohongan.
Di bawah hadits mutawatir, ada hadits mustafidh atau hadits masyhur, dan ada lagi hadits yang dibawahnya masyhur. Hadits mustafidh atau masyhur dapat dijadikan argumentasi dalam menetapkan akidah karena dapat menghasilkan keyakinan sebagaimana halnya hadits mutawatir. Hadits masyhur ialah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih dari generasi pertama hingga generasi selanjutnya. Al-Imam Abu Hanifah dan pengikutnya menetapkan syarat bagi hadits yang dapat dijadikan argumentasi dalam hal-hal akidah harus berupa hadits masyhur. Dalam risalah-risalah yang ditulisnya dalam hal-hal akidah, Abu Hanifah membuat hujjah dengan sekitar empat puluh hadits yang tergolong hadits masyhur. Risalah-risalah tersebut dihimpun oleh al-Imam Kamaluddin al-Bayadhi al-Hanafi dalam kitabnya, Isyarat al-Maram min 'Ibarat al-Imam. Sedangkan hadits-hadits yang peringkatnya di bawah hadits masyhur, maka tidak dapat dijadikan argumentasi dalam menetapkan sifat Allah.
3. Ijma' Ulama
Ijma' ulama yang mengikuti ajaran Ahlul Haqq dapat dijadikan argumentasi dalam menetapkan akidah. Dalam hal ini seperti dasar yang melandasi penetapan bahwa sifat-sifat Allah itu qadim (tidak ada permulaannya) adalah ijma' ulama yang qath'i. Dalam konteks ini, al-Imam al-Subki berkata dalam kitabnya Syarh 'Aqidah Ibn al-Hajib:
Ketahuilah sesungguhnya hukum jauhar dan 'aradh (aksiden) adalah baru. Oleh karena itu, semua unsur-unsur alam adalah baru. Hal ini telah menjadi ijma' kaum Muslimin, bahkan ijma' seluruh penganut agama-agama (di luar Islam). Barangsiapa yang menyalahi kesepakatan ini, maka dia dinyatakan kafir, karena telah menyalahi ijma' yang qath'i. (Ithaf al-Sadah al-Muttaqin, juz 2, hlm. 94.)
4. Akal
Dalam ayat-ayat al-Qur'an Allah SWT telah mendorong hamba-hamba-Nya agar merenungkan semua yang ada di alam jagad raya ini, agar dapat mengantar pada keyakinan tentang kemahakuasaan Allah. Dalam konteks ini Allah berfirman:
Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi. (QS. al-A'raf : 185).
Allah SWT juga berfirman:
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa al-Qur'an itu adalah benar. (QS. Fushshilat : 53).
Dalam membicarakan sifat-sifat Allah, sifat-sifat Nabi J, para Malaikat dan lain-lain, para ulama tauhid hanya bersandar pada penalaran akal semata. Mereka membicarakan hal tersebut dalam konteks membuktikan kebenaran semua yang disampaikan oleh Nabi sawdengan akal. Jadi menurut ulama tauhid, akal difungsikan sebagai sarana yang dapat membuktikan kebenaran syara', bukan sebagai dasar dalam menetapkan akidah-akidah dalam agama. Meski demikian, hasil penalaran akal yang sehat tidak akan keluar dan bertentangan dengan ajaran yang dibawa oleh syara'.
Hubungan Syara' dengan Akal
Di antara problem yang cukup serius dalam sejarah pemikiran Islam adalah problematika seputar hubungan syara' dengan akal. Problem ini telah menyita perhatian dan perdebatan panjang para pakar teologi dan filsafat dengan upaya menawarkan sekian banyak solusi. Bahkan problem tersebut tidak hanya menyita perhatian kalangan intelektual Muslim saja. Ternyata juga cukup menyita kalangan intelektual Yahudi dan Kristen pada abad pertengahan di Eropa.
Di kalangan kaum teolog Muslim, yang berupaya mengkaji akidah-akidah Islam, ada tiga aliran yang berbeda dalam menyikapi seputar hubungan syara' dengan akal.
Pertama, aliran Mu'tazilah yang berpandangan bahwa akal didahulukan dari pada syara'.
Kedua, aliran Hasyawiyah, Zhahiriyah dan semacamnya yang hanya mengakui dominasi syara', dan tidak memberikan peran terhadap akal berkaitan dengan ajaran-ajaran yang dibawa oleh syara'. Aliran ini cenderung mengikuti makna-makna literal teks-teks al-Qur'an dan sunnah tanpa memberikan peran terhadap nalar untuk memberikan pertimbangan.
Tentu saja, pandangan aliran kedua yang memerankan orientasi anti rasional tersebut jauh dari ruh ajaran Islam, karena seperti dikatakan oleh al-Imam Abu al-Fath al-Syahrastani dalam al-Milal wa al-Nihal, ajaran Islam -bahkan semua syariat apapun-, tidak akan tertib dan disiplin tanpa dibarengi dengan ijtihad. Kebutuhan akan adanya ijtihad sebagai metode yang diakui dalam menetapkan hukum-hukum agama, menjadi mendesak ketika sebuah syariat tersebar luas di dunia.  Dan kita telah melihat para sahabat Nabi J seringkali melakukan ijtihad dan menggunakan metode analogi dan banyak persoalan hukum yang dihadapi. Demikian kata al-Syahrastani.
Ketiga, aliran Ahlussunnah Wal-Jama'ah yang memiliki pandangan yang khas terkait dengan problem hubungan syara' dengan akal. Dalam hal ini Ahlussunnah Wal-Jama'ah mengambil sikap moderat (tawassuth) dan seimbang (tawazun), tidak ekstrim kiri seperti halnya Mu'tazilah, dan tidak ekstrim kanan seperti halnya Hasyawiyah dan Zhahiriyah. Menurut Ahlussunnah Wal-Jama'ah, semua kewajiban agama hanya dapat diketahui melalui informasi dari syara'. Sedangkan terkait dengan keyakinan hanya dapat dicapai dengan penalaran akal. (al-Isyarah ila Madzhab Ahl al-Haqq, hlm. 112, edisi Muhammad al-Sayyid al-Julainid)
Ahlussunnah Wal-Jama'ah mengambil sikap tengah dan moderat antara Hasyawiyah dan Mu'tazilah, tidak melepaskan peran akal dari syara' sebagaimana halnya Hasyawiyah dan tidak mendahulukan akal daripada syara' sebagaimana halnya Mu'tazilah. Dalam konteks ini al-Ghazali berkata dalam kitabnya al-Iqtishad fi al-Itiqad:
Kaum Hasyawiyah berasumsi wajibnya beku terhadap taklid dan mengikuti makna-makna literal, dan hal itu bersumber dari nalar mereka yang lemah dan wawasan mereka yang sedikit. Sedangkan kaum filosof dan kelompok Mu'tazilah yang ekstrim, berlebih-lebihan dalam menggunakan akal sehingga berlawanan dengan dalil-dalil syara' yang definitif (qath'i), dan hal itu bersumber dari hati mereka yang buruk. Kelompok pertama cenderung ekstrim, sedangkan kelompok kedua cenderung sembrono. Keduanya jauh dari sikap yang bijaksana dan berhati-hati. Justru yang menjadi kewajiban dan keharusan dalam kaedah-kaedah keyakinan adalah sikap yang moderat dan mengikuti jalan yang lurus. Orang yang merasa puas hanya dengan bertaklid kepada teks-teks hadits, namun mengingkari metodologi penelitian dan nalar tidak mungkin menemukan jalan kebenaran, karena syara' itu bersandar terhadap sabda Nabi J, sedangkan argumentasi rasional adalah satu-satunya sarana yang dapat membuktikan kebenaran Nabi J dalam apa yang disampaikannya. Sedangkan orang yang hanya mengikuti akal dan tidak mengikuti petunjuk cahaya syara', juga tidak mungkin memperoleh petunjuk menuju kebenaran, karena dia hanya berpegangan pada akal, yang diliputi kelemahan dan keterbatasan.[1]( al-Iqtishad fi al-I'tiqad, hlm. 21, edisi Muwaffaq Fauzi al-Jabr,)
Pernyataan al-Ghazali tersebut bermaksud memaparkan tentang keharusan menggunakan akal dalam menangkap hakikat-hakikat yang dikandung oleh dalil-dalil syara', namun tanpa mendahulukan akal dari pada syara'. Dengan demikian Ahlussunnah Wal-Jama'ah mengga-bungkan antara naql dengan akal. Gabungan dari keduanya dapat mengantar pada hakikat-hakikat yang dikandung oleh dalil-dalil syara'.
Terkait dengan metodologi Ahlussunnah Wal-Jama'ah yang menggabungkan antara naql dengan akal tersebut, para ulama memberikan perumpamaan begini. Akal diumpamakan dengan mata yang dapat melihat. Sedangkan dalil-dalil syara' atau naql diumpamakan dengan Matahari yang dapat menerangi. Orang yang hanya menggunakan akal tanpa menggunakan dalil-dalil syara' seperti halnya orang yang keluar pada waktu malam hari yang gelap gulita. Ia membuka matanya untuk melihat apa yang ada di sekelilingnya, antara benda yang berwarna putih, hitam, hijau dan lain-lain. Ia berusaha untuk melihat semuanya. Tetapi selamanya ia tidak akan dapat melihatnya, tanpa ada Matahari yang dapat meneranginya, meskipun ia memiliki mata yang mampu melihat. Sedangkan orang yang menggunakan dalil-dalil syara' tanpa menggunakan akal, seperti halnya orang yang keluar di siang hari dengan suasana terang benderang, tetapi dia tuna netra, atau memejamkan matanya. Tentu saja ia tidak akan dapat melihat mana benda yang berwarna putih, hijau, merah dan lain-lainnya.[2] (Hazz al-Ghalashim fi Ifham al-Mukhashim,hlm. 94.)Ahlussunnah Wal-Jama'ah laksana orang yang dapat melihat dan keluar di siang hari yang terang benderang, sehingga semuanya tampak kelihatan dengan nyata, dan akan selamat dalam berjalan mencapai tujuan.