SELAMAT DATANG

Anda masuk pada blog Sinau bareng Hariri. Semoga bermanfaat untuk kita semua.

Tafsir

REPRESENTASI HERMENEUTIKA
Oleh: Muhammad Hariri

PENDAHULUAN

Dinamisasi mengantarkan manusia kepada perubahan dari term yang sebelumnya yang masih belum mewujudkan keinginan mereka kepada term yang lebih dialogis, rasionalis, maupun sistematis. Ketidakstatisan sifat manusia tersebut tidak lain dipicu oleh dua kesadaran utama, yaitu kesadaran kontekstualitas dan kesadaran progresifitas.
Kesadaran kontekstualitas berarti kesadaran bahwa setiap orang, kelompok atau komunitas social-budaya tertentu berperilaku dan bernalar dengan konteks kehidupannya; baik konteks histories, social-budaya-politik, maupun spikologis. Konteks progresifitas ini yang mengasumsikan bahwa manusia itu tidak statis atau mandeg, tetapi senantiasa terjadi proses dialogis dialektis antar variabelnya yang kemudian memunculkan sesuatu yang baru dan sekaligus berbeda.
Dari kedua kesadaran diatas pada gilirannya akan memunculkan asumsi bahwa, kehidupan ini serasa “plural” (tidak statis). Dengan kemunculan asumsi ini, maka muncul tuntutan bahwa tidak ada satupun teori, konsep, teori, juga setiap pemahaman dan penafsiran ataupun aspeknya mempunyai hukum stagnanitas, pasti mengandung reduksi yaitu ‘pemangkasan” realitas karena keterbatasan perspektif untuk mampu mengkomodasi (menampung) seluruh kenyataan hidup.
Bermula dari asumsi inilah selanjutnya apa yang akan kita kaji sekarang ini mempunyai posisi yang sangat strategis, karena sebagai sebuah disiplin kajian yang menggarap wilayah pemahaman dan penafsiran manusia terhadap realitas kehidupan-dalam aspek apapun-hemeneutika sangat menimbang pluralitas.[1]

SEJARAH HERMENEUTIKA
Hermeneutika pada awal mulanya oleh banyak sejarawan merujuk pada nama dewa yunani kuno yang bernama hermes, yang bertugas menyampaikan berita atau pesan dari sang maha dewa zeus, untuk disampaikan kepada manusia. Dalam penyampaian pesan tugas yang dibebani hermes sangat segnifikan, sebab bila terjadi kesalah pahaman tentang pesan yang diterima oleh dia dari sang dewa, maka konsekwensinya akan fatal bagi manusia. Untuk itu hermes berwenang penuh dalam penyampaian pesan yang dibawanya sesuai dengan bahasa yang dimengerti ummat yang akan menerima pesan tersebut.
Hermeneutika sejalan dengan waktu mengalami perkembangan. Stoisisme (300 SM) mencetuskan heremeneutika sebagai ilmu alegoris (kiasan), yaitu memahami teks dengan cara mencari makna yang lebih dalam. Metode ini kemudian ditransmisikan kedalam teologi Kristen oleh philo Alexandria. Proses pengusungan hermeneutika dalam dunia Kristen pada awalnya mengalami pro-kontra. Kelompok leteral nasrani menentang konsep ini yang banyak disebut dengan Kristen ortodok, dan kelompok yang menghukumi sah-sah saja dengan teori bari ini disebut-sebut sebagai Kristen protestan.
Perkembangan berikutnya adalah beralihnya hermeneutika dari wilayah teologi menjadi metodologi pemahaman.  Hermeneutika tidak hanya khusus mengotak-atik kitab suci, tetapi juga merabah untuh memahami berbagai macam teks, baik document, hukum, teks keagamaan, atau karya sastra.

PENGERTIAN HERMENEUTIKA

Dalam makalah ini kami mencoba mengklarifikasikan beberapa definisi akan hermeneutika dengan pengertian secara bahasa dan istilah.
Hermeneutika secara bahasa adalah “menafsirkan”, yang mana kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermeneuein. Akan tetapi tidak sedikit yang mengasosiasikan kata hermeneutic ini dengan nama salah satu dewa pengantar pesan  yang diutus oleh dewa-dewa langit, yang bernama hermes.
Menurut Prof. Dr. Nasruddin Baidan, ia membedakan kosa kata hermeneutic dengan hermeneutics. Term pertama membentuk kata sifat yang berarti ketafsiran dan ketakwilan. Dengan demikian beliau lebih spesifik terhadap keadaan atau sifat yang terdapat pada suatu penafsiran. Adapun term yang kedua (hermeneutics) adalah kata benda (noun) yang mengandung tiga konotasi:1) ilmu penafsiran, 2)ilmu unyuk mengetahui maksud yang terkandung dalam kata-kata atau ungkapan penulis, 3)penafsiran khususnya menunjuk kepada penafsiran kitab suci.[2]
Dan hermeneutika secara istilah adalah “ proses pengubahan sesuatu atau situasi ketidak tahuan menjadi tahu dan mengerti”. Secara lebih luas hermeneutika diartikan oleh zygmun bauman sebagai “ upaya menjelaskan dan menelusuri pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas, kabur, remang-remang, dan kontradiktif yang menimbulkan kabingunguan bagi pendengar atau pembaca”.[3]
Akan tetapi meskipun banyak terjadi pengertian yang berbeda-beda terhadap kata hermeneutika, ini tidak akan melepas asumsi dasar yang terkandung dalam hermeneutika, yaitu “adanya pluralitas dalam proses pemahaman manusia”.

METODE HERMENEUTIKA

A. PEMBAGIAN METODE HERMENEUTIKA

Dalam penjelasan pembagian hermeneutika ini, untuk lebih sistematis pendapat yang dikeluarkan oleh Joseph Bleicher yaitu adanya pembagian hermeneutika kritis, kami satukan dengan pendapat para ilmuan yang merumuskan bahwa hermeneutika terbagi menjadi dua yaitu hermeneutical theory, dan hermeneutical philosophi.[4]
  1. Hermeneutika Teori.
Hermeneutika yang berisi aturan metodologi untuk sampai kepada pemahaman yang disampaikan atau yang diinginkan pengarang (author).dalam klasifikasi ini hermneutika merupakan kajian penuntun bagi sebuah pemahaman yang akurat dan proporsional. Sebagaimana asumsi awal awal bahwa perbedaan konteks mempengaruhi perbedaan pemahaman, maka hermeneutika  dalam kelompok pertama ini merekomendasikan pemahaman konteks sebagai salah satu aspek yang harus dipertimbangkan.orang-orang yang dianggap sebagai pelopor dalam hermeneutika jenis pertama ini adalah Schleiermarcher, W.Dilthey, dan juga Emilio Betti.
  1. Hermeneutika Filosofis.
Hermeneutika yang lebih mencermati dimensi filosofis fenomenologis pemahaman. Berbeda dengan hermeneutika teori, hermeneutika filosofis focus perhatiannya bukan lagi bagaimana agar biasa mendapatkan pemahaman yang komprehensif, tetapi lebih mengkaji seperti apa kondisi manusia yang memahami itu, baik dalam aspek spikologisnya, historisnya dan lain sebagainya.

  1. Hermeneutika Kritik.
Hermeneutika jenis ketiga ini secara formal objeknya hampir sama dengan hermeneutika jenis yang kedua yaitu tertuju pada horison (wilayah) pembaca. Sedikit ketidaksamaan antara hermeneutic yang jenis dua dengan jenis yang ketiga adalah teletak pada penekanan-penekanan terhadap beberapa determinasi (aspek) histories dalam proses pemahaman, serta sejauh mana determinasi tersebut sering menimbulkan alternative, deskriminasi dan hegemoni wacana, termasuk juga penindasan social-budaya-politik akibat penguasaan otoritas pemaknaan dan pemahaman oleh kelompok tertentu.

B. SELEKTIFITAS METODE

Meskipun nuansa istilah hermeneutika masih terasa segar ditelinga masayarakat Indonesia dari pada term ilmu tafsir yang telah merasuk ke lubuk hati masayarakat pribumi sekitar sejak abad pertama dan kedua hijriah (abad VII-VIII M). akan tetapi tidak menutup kemungkinan jika hermeneutika dapat memberikan konsep yang agak segar dalam penafsiran. Agar tidak terperangkap oleh sikap apriori; dalam menerima atau menolaknya, maka dibawah ini akan kami kemukakan beberapa penjelasan-penjelasan dasar akan hermeneutika, bahwa:
1.      Berdasarkan asosiasi masyarakat tentang pengambilan kata hermeneutika dari nama dewa hermes, yang telah kami utarakan diatas, maka hermeneutika menganding pengertian : “proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti”. Berangkat dari pemahaman tersebut, maka tampak pada kita bahwa hermeneutika itu adalah pembahasan tentang kaidah (teori) atau metode yang digunakan untuk memaknai atau menafsirkan suatu teks (pesan) agar didapatkan pemahaman yang benar, kemudian berusaha menyampaikan kepada audien sesuai tingkat dan daya serap mereka. Dari keterangan ini hermeneutika secara substansial tidak jauh berbeda dengan ilmu tafsir.[5]
2.      Dari pendefinisian kata hermeneutika yang telah kami terangkan diatas, hermeneutika mempunyai tujuan yang amat luhur, yaitu ingin menjelaskan kepada ummat suatu ajaran sejelas-jelasnya dan sejujur-jujurnya dalam bahasa yang dimengerti oleh ummat itu sendiri. Karenanya seorang hermeneut diharus untuk memahami secara mendalam dan utuh tentang teks yang akan disampaikan kepada ummat. Dalam artian dia harus memahami betul sangkut paut teks dengan kondisi dan situasi yang melatar belakangi lahirnya teks tersebut.[6]
3.      Dalam metode penafsiran term ilmu tafsir klasik yang terlalu ekstrim yang menutup rapat-rapat atau membatasi keinginan Tuhan (the will of the divine)  atau keinginan terdalam maksud teks dalam suatu batasan ketentuan tertentu, dan kemudian menyajikan ketentuan tersebut sebagai suatu hala yang tidak dapat lagi dihindari, final, serta merupakan hasil akhir yang tidak dapat diganggu gugat. Akan tetapi tidak dengan hermeneutika. Hermeneutika mambaerikan hak-hak teks dengan membuka kemungkinan-kemungkinan yang ada untuk dijadikan solusi dalam masyarakat yang dinamis.
4.      Ada titik persamaan dengan hazanah tafsir klasik antara hermeneutika-teori-historis dan asbabunnuzul, sebagaimana yang diungkapkan oleh Dr. Amin Abdullah, bahwa: “Dalam ilmu quran klasik, kita mengenal istilah asbabunnuzul. Sebab-sebab turunnya ayat, menurut pendekatan histories kontemporer jelas sekali dengan isu yang berkembang dalam masyarakat. Jadi sebetulnya al-quran memang tidak dapat lepas dari kesejarahan, dari aspek historisitas atau tarikhiyyahnya”.

TOKOH-TOKOH HERMENEUTIKA
  1. Scheleiermacher.
Pemikir Jeman Freidrich Erns Scheleiermacher lahir pada (1843) adalah seorang raksasa intelektual dizamannya. Ia disebut-sebut sebagai bapak hermeneutika modern dan bapak para pemikir yang datang sesudahnya yang pro dan yang kontra dengannya.
  1. Wilhem Dilthey
Ia seorang filsuf asal jeman yang cukup masyhur dengan riset historisnya yang dipadukan dengan filsafat. Ia adalah pengagum berat Scheleiermacher, akan tetapi ada juga pendapat Scheleiermacheryang ditolak olehnya.
  1. Gadamer.
Ia adalah seorang filosof yang memiliki latar belakang pendidikan filologi, kebudayaan dan filsafat. Hans george gadamer (1900 M) menyatakan: “sekali teks dilempar keruang public, maka ia telah hidup dengan sendirinya. Dalam soal metode haideger sepaham dengan gadamer.[7]
  1. Paul Ricoeur.
Paul Ricoueur (1913 M) mendefinisikan hermeneutika sebagai teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap teks. Menurutnya, kata-kata adalah sebuah simbol sehingga konsekwensinya kata-kata akan dipenuhi makna. Pendapat ini sepaham dengan pemikir hermeneutic kontemporer seperti Betti, dan Hirs.[8]

KESIMPULAN
Asumsi paling dasar dari cara pandang hermeneutika ini adalah “asumsi pluralitas”, yaitu satu asumsi bahwa pemahaman dan penafsiran itu plural secara niscaya. Pluralitas yang niscaya, ini muncul dan terjadi karena memang dalam segala aspeknya kehidupan manusia itu plural. Setiap orang adalah anak zamannya sendiri, hasil konstruksi ruang dan waktunya sendiri. Pengalaman sejarah, psikologi, budaya, dan relasi social dan sampai pendidikan yang dialami setiap orang pasti berbeda, sementara factor-faktor tersebut merupakan pembentuk paling dominan bagi cara berpikir dan cara seseorang memahami; dan jelas faktor-faktor tersebut tidaklah sama bagi setiap orang maupun setiap kelompok.


[1] Fahruddin Faiz, Hermeneutika Alqur’an Tema-Tema Kontroversial, hal: 3
[2] Prof. Dr. Nasruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, hal: 74
[3] Fahruddin Faiz, op.cit, hal: 5
[4]Fahruddin Faiz, ibid, hal: 8
[5] Prof. Dr. Nasruddin Baidan, op.cit. hal: 73
[6] ibid. hal: 75
[7] Fahruddin Faiz, op.cit. hal: 8
[8] Nasr Hamid Abu Zaid, Hermeneutika Inklusif, hal: 55